Sejumlah Guru Besar Hukum Kritik Putusan MA RI Terkait Batas Daerah Muba-Muratara


Palembang, realnewssumatera.com
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) mengenai sengketa batas wilayah antara Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Provinsi Sumatera Selatan dinilai berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Hal ini disampaikan sejumlah guru besar hukum dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Kolegium Jurist Institute (KJ Institute) pada Rabu (16/10).
Diskusi yang bertema "Eksaminasi Publik terhadap Putusan MA RI: Menyoal Pengujian Batas Daerah Kabupaten Musi Banyuasin dengan Kabupaten Musi Rawas Utara" ini menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, di antaranya Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof. Dr. Faisal Santiago dari Universitas Borobudur, Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Prof. Dr. Febrian dari Universitas Sriwijaya. Diskusi ini juga dihadiri oleh praktisi hukum, pemerintah daerah, serta masyarakat.
Prof. Dr. Febrian dari Universitas Sriwijaya dalam paparannya menyatakan bahwa masalah batas wilayah antara kedua kabupaten ini muncul akibat terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 76 Tahun 2014. Peraturan ini mengubah batas wilayah yang mengakibatkan berkurangnya cakupan wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, termasuk memindahkan Desa Sako Suban ke wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara.
"Permendagri ini telah mengurangi wilayah Musi Banyuasin tanpa mengikuti penetapan batas yang diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2013," ungkap Febrian.
Senada dengan itu, Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara dari Universitas Muhammadiyah Jakarta menyebutkan bahwa perubahan batas wilayah tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat terdampak, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia juga menekankan bahwa perubahan ini berpotensi mengganggu izin usaha yang sudah ada dan memengaruhi tata ekonomi serta sosial di wilayah tersebut.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari dari Universitas Muhammadiyah Surakarta menyoroti adanya potensi pelanggaran kode etik hakim dalam penanganan perkara ini. Menurutnya, terdapat inkonsistensi dalam amar putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung, meskipun permohonannya sama. "Ini menunjukkan adanya pelanggaran prinsip profesionalisme dan disiplin tinggi dalam proses pengambilan keputusan," jelas Aidul.
Prof. Dr. Faisal Santiago dari Universitas Borobudur menambahkan bahwa meskipun Mahkamah Agung telah mempertimbangkan aspek hukum dengan baik, dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat perubahan batas wilayah ini harusnya lebih diperhatikan.
Diskusi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang konstruktif untuk penyelesaian masalah batas wilayah dan membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di kedua kabupaten.(ril/red/Fei)

Diberdayakan oleh Blogger.